Thursday, November 12, 2009

sudah banyak tertulis kisah-kisah

sudah banyak tertulis kisah-kisah
bahwa kebahagiaan telah terserah
banyak yang bersyukur karenanya
semoga kami menjadi bagian darinya

sudah banyak tertulis kisah-kisah
bahwa penderitaan telah dijelajah
banyak yang bersabar karenanya
semoga kami bisa seperti mereka

sudah banyak tertulis kisah-kisah
apa yang baik dan apa yang buruk
sebenarnya selalu baik jika pasrah
nyatanya susah dan lagi-lagi terpuruk

Serang, 12 November 2009
Buat Istriku Tercinta, Ratih Wulansari

Wednesday, November 11, 2009

Mak

Jam menunjukkan angka 2.30 pagi saat Mak masih sibuk di dapur sendirian membuat kue. Pagi yang buta tidak membuat mak takut untuk melaksanakan tugas yang dipaksa jadi kewajibannya. Tugas yang sudah dijalaninya selama hampir 20 tahun sejak almarhum Bapak mulai sakit-sakitan. Membuat kue semalaman dari pukul 6 maghrib sampai menjelang dini hari kemudian tidur beberapa jam, setelah shalat shubuh berangkat ke pasar untuk dijual. Pulang dari pasar kira-kira jam 11 siang Mak istirahat sekitar satu jam untuk kemudian bersiap-siap kembali untuk shalat Dhuhur lalu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue sampai malam menjelang kembali. Setiap hari hanya itu dan itu saja yang dijalaninya.

Berjualan kue kecil di pasar dengan peralatan tampah dan bakul yang terbuat dari anyaman bambu adalah satu-satunya pekerjaan yang Mak miliki. Dengan keuntungan per hari cuma sekitar Rp 25.000 hingga Rp 30.000 tidak membuat Mak putus asa, apalagi berniat berhenti berjualan dan mencoba mencari pekerjaan lain dalam situasi yang serba sulit dan juga umur yang lebih dari setengah abad. Mak ikhlas melakukannya. Melihat kondisi Bapak yang pesakitan tidaklah melemahkan Mak. Tanpa banyak mengeluh Mak dengan sabar menggantikan posisi Bapak. Apalagi dilihatnya aku dan ketiga adikku masih sangat butuh dinafkahi.

Ketika aku berumur 12 tahun, aku membawa bakul penuh kue berjalan ke pasar yang jaraknya sekitar 3km dari kampungku. Setelah mengantarkan Mak aku langsung pergi dengan berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya 3km juga dari pasar. Adik-adikku masih kecil-kecil waktu itu, tak sanggup membawa sebakul kue. Hal itu kulakukan hingga aku kelas 3 SMA. Dari kecil hingga sekarang aku tak mampu menatap mata Mak. Aku takut kalau aku menatap mata Mak akan kulihat matanya berkaca-kaca. Bagaimanapun mak manusia biasa juga yang punya keinginan dan harapan akan hidup normal dan tidak kekurangan. Tapi kalau aku memperhatikan Mak, pastinya hal itu sudah ia buang jauh-jauh bahkan dari mimpinya.

Mak sepertinya wanita yang dianugerahi sesuatu yang luar biasa. Tidak pernah sekalipun kulihat dia mengeluh kepada Bapak. Bertahun-tahun mengurusi Bapak yang pesakitan tidak membuat Mak merasa sedih. Telaten dan penuh kesabaran. Mak adalah wanita yang sangat sabar menghadapi segala sesuatu yang tidak enak. Pernah aku mengobrol dengan Mak saat beras yang ia beli di pasar lupa ia bawa dan saat kembali ke pasar beras itu sudah tidak ada. Mak cuma berkata padaku, "Berasnya sudah hilang. Bukan milik kita sepertinya. Biar Mak pinjam tetangga sebelah barang dua liter untuk hari ini saja karena Mak sudah tidak punya uang lagi untuk membeli sedangkan ibu warung sudah tidak mau memberi utangan pada Mak karena takut tidak terbayar. Tidak apalah. Semua rejeki sudah diatur oleh Allah."

Aku pernah melihat Mak menangis. Saat Bapak meninggal dunia. Mak menangis dalam diam tidak berucap sepatah kata pun dan duduk di samping jenazah Bapak. Laki-laki yang sangat dia cintai kini juga pergi dari hidup Mak. Bapak begitu berharga buat mak. Laki-laki yang seumur hidupnya tidak pernah berbuat kasar atau marah terhadap Mak. Laki-laki yang selalu minta maaf kepada Mak karena tidak berdaya menafkahinya. Tapi adalah laki-laki yang selalu Mak sayangi. Bagi Mak, Bapak adalah kekasihnya yang selalu ia cintai sampai sekarang. Suatu saat, ada juragan sayuran dan beras yang melamar Mak, namun Mak menolaknya dengan alasan selalu teringat almarhum Bapak.

Mak juga pernah menangis suatu saat ketika baru pulang berjualan beberapa tetangga menggosipkan bahwa aku pernah mengambil motor orang. Mak menangis tersedu-sedu sambil membawa bakul kuenya dan ketika tiba di rumah langsung memburu dan memeluk aku sambil menangis. Tapi Mak bilang jangan pernah marah dan benci dengan perlakuan orang lain yang dzalim terhadap kita. Sempat aku merasa marah dengan perlakuan orang-orang itu, tapi Mak selalu mengingatkan bahwa Allah Tahu apa yang dilakukan hamba-hamba-Nya.

Hidup yang penuh kemelaratan tidak pernah bisa mengalahkan kesabaran Mak. Dan ada begitu banyak kepahitan dalam hidup Mak yang terlalu banyak jika diceritakan. Kesabaran dan kasih sayang Mak tetap ada sampai kini hingga umurku 31 tahun. dan hingga aku memiliki seorang istri yang cantik dan baik hati. Mak kelihatan bangga saat tahu dia punya menantu. Dengan segala pengorbanan dan kemelaratan yang dialami puluhan tahun terasa tidak ada apa-apanya saat melihat wajah menantunya. Mak menunjukkan kebahagiaan yang luar biasa kepada semua orang sebagai rasa syukur kepada Allah atas kehadiran seorang menantu.

Ada sebuah cita-cita dalam hatiku agar Mak tidak lagi berjualan kue. Tapi hingga kini aku belum mampu mewujudkannya. Semoga hal itu bisa terwujud suatu hari nanti.

Terima kasih Mak.

Serang, 11 November 2009
Buat Mak-ku, Nurhayati binti Djauhari

Menatap Mata Istriku

Untuk Istriku Tercinta,
Ratih Wulansari

Menatap mata istriku
tidak terlihat apapun kecuali aku
seperti tidak ada apapun di mataku kecuali dia

Menatap mata istriku
membuatku sadar begitu besar karunia-Nya
memberiku yang terbaik meski bukan yang tercantik

Menatap mata istriku
berarti menatap mataku sendiri
senantiasa patuh pada janji sebelumnya


Serang, 11 November 2009