Thursday, December 31, 2009

Mudik dan Tahun Baru 2010

Wah... padat sekali bus Primajasa hari ini: dari nenek-kakek hingga anak-anak kecil berjubel memadati bus kesayangan saya ini (maklum setiap berangkat kerja ke Serang pasti mampir tiduran dulu di bus ini). Tapi hari ini, padat sekali... aku jadi tidak kebagian tempat duduk.
Ada yang turun di Bitung, tapi sedikit. Cikupa, juga sedikit. Gorda, agak banyak tapi tetap berdesakan. Ciujung, agak banyak, tetap berdesakan. Masing-masing orang menikmati tanggal 31 Desember 2010 ini untuk pulang ke kampung halamannya masing-masing. Entah karena mau merayakan Tahun Baru 2010 atau karena memang mereka mendapat libur di tempat kerja masing-masing. Pokoknya, mudik.
Sambil berdesakan, banyak sekali di antara penumpang yang membaca koran. Topiknya, meninggalnya Tokoh Nasional Bapak Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Di penghujung tahun 2009 ini, tepatnya 30 Desember 2009 jam 18.45 beliau meninggal di RSCM.
Akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 ini kelihatannya mirip sekali dengan peristiwa Maulidnya Nabi Besar Muhammad SAW, di mana dalam agam Islam tidak diperbolehkan untuk memperingati atau merayakan kelahiran Nabi, karena salah satu alasannya adalah bahwa hari lahirnya Nabi sama dengan hari wafatnya Nabi. Jadi, bergembira ataukah bersedih.
Sementara, semalam saya mendengar obrolan Bapak-Bapak di sebuah Musholla ketika pulang kerja. Orang-orang tua itu menyayangkan kenapa generasi muda Islam tidak merayakan datangnya tahun baru Islam 1431H yang tepat jatuh pada hari Jum'at, 18 Desember 2009; tapi seminggu lagi menjelang awal tahun 2010, betapa suasananya begitu gempita. Mereka memimpikan bahwa suatu saat generasi muda Islam akan menyambut tahun baru Islam dengan meriah sebagaimana mereka menyambut tahun baru Masehi. Atau minimal seperti dilakukan oleh sebagian orang-orang di pulau Jawa yang menyambut datangnya 1 Suro dengan berbagai upacara dan sesajen.
Tapi, Nabi pernah bersabda bahwa salah satu amalan yang bisa menghancurkan pahala seseorang adalah merayakan tahun baru, meskipun itu tahun baru Islam itu sendiri. Kurang-lebih seperti itu maknanya.
Sebentar lagi aku turun. Pabrik di mana aku bekerja sudah mulai kelihatan. Tapi bus ini masih saja penuh sesak oleh orang-orang yang ingin melewati masa liburnya di kampung halaman. Bertemu sanak-saudaranya untuk sekedar menghilangkan rasa rindu, baik terhadap Ibu, Adik, Keluarga, Anak, Cucu ataupun pacarnya.

Wednesday, December 30, 2009

Lagi-lagi Duit

Dua hari lagi tahun baru 2010, tepatnya jatuh pada hari Jum'at minggu ini. Rencananya hari Sabtu mau bolos kerja atau apapun alasannya ingin libur panjang: Jum'at-Minggu.
Sejak menikah, saya tinggal di Jakarta bersama istri. Memang sejak kecil istri sudah tinggal di Jakarta. Kelahiran Jakarta pula. Meski kedua mertua saya asli dari Jawa, tapi istri sama sekali tak bisa berbahasa Jawa. Setahun lebih tinggal di Jakarta bersama istri.
Rencanya, tahun baru ini mau melewatkan libur panjang di kampung halaman di mana Ibu dan adikku tinggal. Tapi apa mau dikata, sepertinya rencana tinggal rencana, keinginan tinggal keinginan, semua susah sekali diwujudkan. Uang... yah meski libur panjang tapi posisinya saya belum gajian.
Sedikit sedih, sedikit kesal, sedikit marah. Yang namanya uang ini kejam sekali, dia tidak punya hati-nurani, meski rinduku kepada Ibuku sungguh memuncak, tapi tanpa belas kasihan dia tidak mau menghampiriku.
Dunia memang tempat di mana setiap keinginan belum tentu bisa terwujud. Dan karena uang, tidak sedikit orang yang kalap bahkan lupa akan tujuan hidup ini. Bahkan, banyak orang rela melakukan apa saja karena ingin uang senantiasa bisa di-stock di brankas kamarnya.
Ahh....

Thursday, November 12, 2009

sudah banyak tertulis kisah-kisah

sudah banyak tertulis kisah-kisah
bahwa kebahagiaan telah terserah
banyak yang bersyukur karenanya
semoga kami menjadi bagian darinya

sudah banyak tertulis kisah-kisah
bahwa penderitaan telah dijelajah
banyak yang bersabar karenanya
semoga kami bisa seperti mereka

sudah banyak tertulis kisah-kisah
apa yang baik dan apa yang buruk
sebenarnya selalu baik jika pasrah
nyatanya susah dan lagi-lagi terpuruk

Serang, 12 November 2009
Buat Istriku Tercinta, Ratih Wulansari

Wednesday, November 11, 2009

Mak

Jam menunjukkan angka 2.30 pagi saat Mak masih sibuk di dapur sendirian membuat kue. Pagi yang buta tidak membuat mak takut untuk melaksanakan tugas yang dipaksa jadi kewajibannya. Tugas yang sudah dijalaninya selama hampir 20 tahun sejak almarhum Bapak mulai sakit-sakitan. Membuat kue semalaman dari pukul 6 maghrib sampai menjelang dini hari kemudian tidur beberapa jam, setelah shalat shubuh berangkat ke pasar untuk dijual. Pulang dari pasar kira-kira jam 11 siang Mak istirahat sekitar satu jam untuk kemudian bersiap-siap kembali untuk shalat Dhuhur lalu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue sampai malam menjelang kembali. Setiap hari hanya itu dan itu saja yang dijalaninya.

Berjualan kue kecil di pasar dengan peralatan tampah dan bakul yang terbuat dari anyaman bambu adalah satu-satunya pekerjaan yang Mak miliki. Dengan keuntungan per hari cuma sekitar Rp 25.000 hingga Rp 30.000 tidak membuat Mak putus asa, apalagi berniat berhenti berjualan dan mencoba mencari pekerjaan lain dalam situasi yang serba sulit dan juga umur yang lebih dari setengah abad. Mak ikhlas melakukannya. Melihat kondisi Bapak yang pesakitan tidaklah melemahkan Mak. Tanpa banyak mengeluh Mak dengan sabar menggantikan posisi Bapak. Apalagi dilihatnya aku dan ketiga adikku masih sangat butuh dinafkahi.

Ketika aku berumur 12 tahun, aku membawa bakul penuh kue berjalan ke pasar yang jaraknya sekitar 3km dari kampungku. Setelah mengantarkan Mak aku langsung pergi dengan berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya 3km juga dari pasar. Adik-adikku masih kecil-kecil waktu itu, tak sanggup membawa sebakul kue. Hal itu kulakukan hingga aku kelas 3 SMA. Dari kecil hingga sekarang aku tak mampu menatap mata Mak. Aku takut kalau aku menatap mata Mak akan kulihat matanya berkaca-kaca. Bagaimanapun mak manusia biasa juga yang punya keinginan dan harapan akan hidup normal dan tidak kekurangan. Tapi kalau aku memperhatikan Mak, pastinya hal itu sudah ia buang jauh-jauh bahkan dari mimpinya.

Mak sepertinya wanita yang dianugerahi sesuatu yang luar biasa. Tidak pernah sekalipun kulihat dia mengeluh kepada Bapak. Bertahun-tahun mengurusi Bapak yang pesakitan tidak membuat Mak merasa sedih. Telaten dan penuh kesabaran. Mak adalah wanita yang sangat sabar menghadapi segala sesuatu yang tidak enak. Pernah aku mengobrol dengan Mak saat beras yang ia beli di pasar lupa ia bawa dan saat kembali ke pasar beras itu sudah tidak ada. Mak cuma berkata padaku, "Berasnya sudah hilang. Bukan milik kita sepertinya. Biar Mak pinjam tetangga sebelah barang dua liter untuk hari ini saja karena Mak sudah tidak punya uang lagi untuk membeli sedangkan ibu warung sudah tidak mau memberi utangan pada Mak karena takut tidak terbayar. Tidak apalah. Semua rejeki sudah diatur oleh Allah."

Aku pernah melihat Mak menangis. Saat Bapak meninggal dunia. Mak menangis dalam diam tidak berucap sepatah kata pun dan duduk di samping jenazah Bapak. Laki-laki yang sangat dia cintai kini juga pergi dari hidup Mak. Bapak begitu berharga buat mak. Laki-laki yang seumur hidupnya tidak pernah berbuat kasar atau marah terhadap Mak. Laki-laki yang selalu minta maaf kepada Mak karena tidak berdaya menafkahinya. Tapi adalah laki-laki yang selalu Mak sayangi. Bagi Mak, Bapak adalah kekasihnya yang selalu ia cintai sampai sekarang. Suatu saat, ada juragan sayuran dan beras yang melamar Mak, namun Mak menolaknya dengan alasan selalu teringat almarhum Bapak.

Mak juga pernah menangis suatu saat ketika baru pulang berjualan beberapa tetangga menggosipkan bahwa aku pernah mengambil motor orang. Mak menangis tersedu-sedu sambil membawa bakul kuenya dan ketika tiba di rumah langsung memburu dan memeluk aku sambil menangis. Tapi Mak bilang jangan pernah marah dan benci dengan perlakuan orang lain yang dzalim terhadap kita. Sempat aku merasa marah dengan perlakuan orang-orang itu, tapi Mak selalu mengingatkan bahwa Allah Tahu apa yang dilakukan hamba-hamba-Nya.

Hidup yang penuh kemelaratan tidak pernah bisa mengalahkan kesabaran Mak. Dan ada begitu banyak kepahitan dalam hidup Mak yang terlalu banyak jika diceritakan. Kesabaran dan kasih sayang Mak tetap ada sampai kini hingga umurku 31 tahun. dan hingga aku memiliki seorang istri yang cantik dan baik hati. Mak kelihatan bangga saat tahu dia punya menantu. Dengan segala pengorbanan dan kemelaratan yang dialami puluhan tahun terasa tidak ada apa-apanya saat melihat wajah menantunya. Mak menunjukkan kebahagiaan yang luar biasa kepada semua orang sebagai rasa syukur kepada Allah atas kehadiran seorang menantu.

Ada sebuah cita-cita dalam hatiku agar Mak tidak lagi berjualan kue. Tapi hingga kini aku belum mampu mewujudkannya. Semoga hal itu bisa terwujud suatu hari nanti.

Terima kasih Mak.

Serang, 11 November 2009
Buat Mak-ku, Nurhayati binti Djauhari

Menatap Mata Istriku

Untuk Istriku Tercinta,
Ratih Wulansari

Menatap mata istriku
tidak terlihat apapun kecuali aku
seperti tidak ada apapun di mataku kecuali dia

Menatap mata istriku
membuatku sadar begitu besar karunia-Nya
memberiku yang terbaik meski bukan yang tercantik

Menatap mata istriku
berarti menatap mataku sendiri
senantiasa patuh pada janji sebelumnya


Serang, 11 November 2009

Friday, October 23, 2009

PERHATIAN

Aku Cowok,dia cewek
Aku mengenalnya,dia mengenalku
Aku naksir padanya dan bertanya
"Maukah kamu jadi calon istriku?"
Dia mengangguk tanda setuju
"Tapi ada syaratnya,"kata dia
"Katakan saja! apa syaratnya,"kataku
"Aku butuh banyak perhatian"
"Hanya itu !?," tanyaku
"Ya,hanya itu,PERhiasan,HArta,Tabungan,Investasi dan warisAN."
"Jadi kapan kau akan melamarku?"sambungnya kemudian
Tak menjawab,aku balik kanan,takut akan PERHATIAN

Dari:
Koleksi Top Puisi, http://toppuisi.blogspot.com/search/label/Puisi%20Humor, Diakses pada hari: Jum'at, 23 Oktober 2009

Tak Sepadan

Chairil Anwar
Februari 1943

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

Dari:
Kumpulan Top Puisi, http://toppuisi.blogspot.com/search/label/Chairil%20Anwar, Diakses pada hari: Jum'at, 23 Oktober 2009

Senja Di Pelabuhan Kecil

Chairil Anwar
1946

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Dari:
Koleksi Top Puisi, http://toppuisi.blogspot.com/search/label/Chairil%20Anwar, Diakses pada hari: Jum'at, 23 Oktober 2009